HOME


Kunang-kunang di Langit Jakarta

Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.


Aku Pulang… Kekasihku

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen KeluargaCerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 9 May 2019
Teriknya matahari siang tak menyurutkan niatku untuk bertemu dengannya, kekasihku. Dia telah menunggu berjam jam lamanya di sebuah perempatan jalan kota itu. Kini barulah aku bisa menghadap kepadanya.
“Sayang kau dari mana saja? Aku telah menunggu lama di sini,” sapanya sembari mendaratkan kecupannya di keningku.
“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini, untuk itu aku tak bisa berlama-lama di sini dan aku harus kembali bekerja.”
“Mengapa kau menjadi begitu sibuk padahal kurasa kau sudah bisa bahagia dengan hidupmu kini,” kekasihku berkata dengan air muka yang keruh.
“Sampai mulut-mulut jahannam itu berhenti menghinaku, aku tak akan pernah bahagia dan dengan sukseslah aku bisa menyumpal mulut busuk mereka,” balasku geram.
“Kembalilah pada pekerjaanmu, bahagiakan dulu dirimu dan soal aku usahlah cemas kau memikirkan, aku akan baik-bak saja,” kekasihku berlalu meninggalkanku dan beranjak pergi dari perempatan jalan tersebut.
Kekasihku begitu murung tampaknya, air mukanya tak sejernih saat aku masih bisa betemunya setiap hari, pandangannya nampak sayu dan langkahnya pun tergopoh sekali. Kurang senangkah ia melihat perjuanganku yang sedemikian? kekasihku, kusuruh saja dia kembali ke kampung karena jika di kota ini lebih lama lagi kehidupan kota terlalu asing masuk ke dalam hidupannya dan makanannya pun masih belum terbiasa ada di lidahnya.

Hari ini kekasihku mungkin menginap untuk beberapa malam di rumah kerabatnya yang tak begitu banyak di kota ini. Lusa dia akan kembali ke kampung, katanya. Untuk itu ia ingin bertemu lagi denganku di perempatan jalan seperti hari itu sebelum ia menuju ke terminal.
“Sayang, aku akan kembali ke kampung, bisa atau tidaknya kau sempatkanlah untuk singgah dan sekedar berkunjung ke makam ibumu, meski bukan untukku kau pulang aku akan tetap senang karena kau masih ada niat untuk kembali pada desa kecil tempat kau dibesarkan dulu,” sambil menyandang tas yang berisi baju dan kardus yang kuisikan oleh-oleh kekasihku berkata demikian.
“Setelah semua pekerjaanku di sini selesai aku pasti akan pulang untuk menyumpal mulut busuk orang-orang di kampung itu,” ucapku sembari berdiri di depan kekasihku.
“Jika kau pulang nanti apakah niatmu hanya untuk melagak kepada orang-orang kampung itu dan bukan untuk menemui aku dan ke makam ibumu?” kekasihku tampak heran dengan ucapanku yang belum juga diahami maksudnya itu.
“Kau sudah pasti kucari, tenang sajalah aku tak akan lupa perihal itu dan di sini ibu selalu kudoakan di sepertiga malamku hingga telah banyak infak yang aku namakan atas nama ibu,” ucapku.
“Baik, jika itu keputusanmu aku akan tetap berdoa yang terbaik untukmu semoga Tuhan melindungi dan mewujudkan semua cita-citamu, aku berangkat dulu ke kampung,” kekasihku pergi menaiki bus yang akan membawanya pulang ke kampung.
Seperginya kekasihku kembali ke kampung aku tetap menjalani rutinitas kehidupanku yang sangat padat, aku bekerja sebagai seorang capthen kitchen di sebuah restoran ternama di kota Padang. Karenanya pekerjaanku yang berat untuk dilakukan seorang wanita kekasihku sering kali menyuruhku untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain. Namun aku selalu menghiraukan suruhannya karena aku menganggap hanya inilah jalan untuk membawaku sukses nantinya dan yang pasti untuk membahagiakan kekasihkku.
“Farah, selama bulan puasa dan lebaran banyak event serta orderan yang harus kita kerjakan. Jadi, saya harap kamu dapat membuat acaranya sukses,” ucapan manager tempatku bekerja saat aku disuruh datang ke ruangannya.
“Huhhh..jika masih banyak pekerjaan seperti ini artinya aku belum bisa pulang kampung tahun ini untuk ziarah ke makam ibu dan menemui kekasihku,” keluhku dalam hati saat keluar dari ruangan itu.
Tepat dua hari lagi sudah masuk Hari Raya Idul Fitri sedangan aku masih dalam hiruk pikuk pekerjaanku di dapur. Jangankan pulang kampung, untuk pulang ke kost saja aku terkadang tidak sempat, adapun aku bisa pulang itu hanya untuk mengganti baju dan membersihkan badanku.
Selesainya pekerjaanku aku menelepon kekasihku di waktu istirahat.
“Assalamuailaikum kekasihku, apa kabarmu di kampung? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan makam ibuku, sudahkah kau bantu aku untuk membersihkannya? Aku merindukanmu,” beberapa pertanyaan kulontarkan sebelum kekasihku menjawab salamku.
“Waalaikum salam sayang, di kampung aku baik-baik saja, makam ibumu setiap minggu selalu kubersihkan dan aku tak pernah lupa, bagaimana dengan kabarmu? Apa pekerjaanmu telah selesai dan tahun ini kau akan pulang menemui aku dan berziarah ke makam ibumu?” jelas saja pertanyaan itu membuatku tercengang.
“Tidak, kekasihku aku tak bisa pulang tahun ini karena aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku di sini tapi aku berjanji akan pulang ketika pekerjaanku telah selesai,” aku menjawab dengan nada yang sedih.
“Tak sempatkah kau sehari saja untuk pulang ke kampung halamanmu, terlalu nyamankah kau dengan kehidupan di kota itu, tidakkah kau rindu dengan sejuknya udara perbukitan belakang rumah yang sangat kau sukai di waktu dulu?” kekasihku berbicara dengan nada yang tampak begitu kecewa.
“Jelas saja aku rindu akan hal itu. Namun aku punya kewajiban di sini yang tak mungkin bisa aku tinggalkan, lagi pula aku di sini masih menjadi anak buah orang dan suksesku masih jauh dan apa kata orang-orang kampung jika nanti aku pulang dengan keadaan yang masih sama seperti yang dulu, kau bersabarlah dulu ada saatnya kita akan berkumpul lagi seperti dulu,” itu ucapanku sebelum aku menutup telepon dengan kekasihku.
Sekarang aku telah menggapai cita-citaku, aku tak lagi bekerja menjadi seorang koki tapi kini aku telah memiliki restoran sendiri dan restoranku terbilang cukup sukses di kota ini. Sejak hari aku menelfon kekasihku 2 tahun yang lalu aku belum pernah kembali ke kampung. Untuk memberi kabar kekasihku hanya ingin melalui sms, jika aku menelepon tak sekalipun ia mau mengangkatnya. Namun sudah 6 bulan ini kekasihku tak pernah memberikan kabar. Aku khawatir dengan keadaannya di sana, aku takut ia marah dan tak mau lagi berkomunikasi denganku, hingga pada awal bulan November ini aku akan pergi menemuinya.
“Ryan awal bulan saya akan pulang kampung jadi tolong kamu kelola restoran untuk beberapa hari,” perintahku pada manager restoranku. Keadaan sudah berbalik kini, tak lagi menjadi kepala dapur tapi aku adalah owner dari sebuah restoran terkenal.
“Baik bu, semoga kepulangan ibu dapat melepaskan rindu keluarga ibu di kampung.”
Setelah 6 jam perjalanan akhirnya aku sampai di kampung, tak sabar rasanya aku segera bertemu dengan kekasihku, di mobilku telah banyak oleh-oleh yang telah kupersiapkan untuk kekasihku dan tetangga-tetangga di kampung.
“Assalamualaikum kekasihku aku pulang, apa kau ada di dalam?” beberapa kali aku mengetuk pintu tapi tak ada jawaban dari dalam, aku pikir kekasihku sedang pergi keliling kampung untuk mencari angin.
“Farah, kamu sudah pulang nak,” sahut seorang tetanggaku dari jendela di dalam rumahnya.
“Iya bu Rum Farah baru saja sampai, apa bu rum melihat ayahku? Ke mana dia pergi, aku membawa oleh-oleh untuk ayah dan tetangga di sini,” ucapku sambil menyodorkan bungkusan buah tangan kepada bu rum.
“Maafkan ibu nak, bu Rum tak bisa memberi tahumu karena ayahmu melarangnya.”
“Apa maksud ibu, apa yan harus diberitahu kepada Farah?” aku terhenti bicara karena tak mengerti dengan apa yang Bu Rum ucapkan.
“Sekali lagi maafkan ibuk nak, sejak ayahmu kembali melihatmu ke kota beliau sering sakit-sakitan dan sudah tak sanggup lagi untuk bekerja, atas kehendak Tuhan 6 bulan yang lalu ayahmu dipanggil kembali mengahadap Yang Kuasa,” jelas Bu Rum dengan tangan yang gemetar.
“Tapi mengapa tidak ada yang mau memberitahu Farah buk, mengapa? Itukan ayah Farah dan Farah berhak untuk mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya.”
“Semasa hidupnya ayahmu berpesan untuk tidak memberi tahu kamu jika ia sedang sakit karena tak ingin menjadi beban untukmu karena ayahmu tau di kota kau sedang sibuk dan ia tak ingin menjawab teleponmu karena beliau tak ingin kau mendengar nafasnya yang tersenggal.”
“Begitukah ayahku berkata untuk tidak membebaniku bu?” air mata mulai mengalir dari sudut mataku.
“Ayahmu juga sudah tau perihal kesuksesanmu mendirikan sebuah restoran, teman sekolahmu yang juga bekerja di kota yang memberitahu kepadanya.”
“jika memang ayahku tak ingin memberitahu kalau ia sedang sakit mengapa tak ada satupun tetangga yang memberi kabar kepadaku jika ayah sudah tiada?”
“Kami di sini tak memiliki alamat rumahmu ataupun nomor telephone yang bisa dihubungi, sudah kami coba untuk mencari hp ayahmu tapi tidak ada dan juga temanmu sudah berusaha menemuimu di restoran hari itu tapi kau tak mengizinkannya masuk ke ruanganmu karena kau tau ia orang dari kampungmu yang kau bilang akan meminta uang,” Penjelasan bu Rum semakin menambah penyesalanku.
“Lalu sekarang di mana ayah dimakamkan bu?” tanyaku pada Bu Rum.
“Ayahmu dimakamkan di sebelah makam ibumu, jika ingin ke sana biar ibu temani kau ke sana,” ajak Bu Rum untuk pergi ke makam ayah.
Sepanjang perjalan aku hanya bisa menangisi kepergian ayah dengan penyesalanku yang sangat dalam. Sesampainya aku di kompleks pemakaman yang tak jauh dari kampungku itu kulihat kuburan yang bertuliskan nama ibu dan disusul dengan nama ayahku di sampingnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUMPULAN CERPEN

Baik Luar Dalam Di suatu siang yang cerah, dua orang gadis bernama Rara dan Tina tengah mengerjakan tugas sekolah di rumah Rara. M...